Selasa, 10 Desember 2013
Hijab
Selangkah demi demi selangkah
Sekalipun lahir dan dibesarkan sebagai muslim, selangkah demi selangkah aku berjalan mencari hidayah.
Sejek kecil hingga kelas 1 smp, aku tinggal bersebelahan rumah dengan keluarga muslim yang cukup baik. Bagiku yang masih bocah, setiap kali melihat mereka menggunakan jilbab dan kerudung yang terjulur sampai dada dan kaos kaki kemana-mana tentu merasa aneh. Untuk ukuran tahun 1990 dimana jilbab bisa dihitung dengan jari, mereke jelas terlihat berbeda. Ibu-ibu yang lain paling-paling hanya mengenakan selendang jika pengajian.
Saat itu aku memang terlalu kecil untuk mengerti tentang kewajiban muslimah mengenakan jilbab dan kerudung. Tetapi setiap hari melihat ibu tetangga samping rumah, ustadzah-ustadzah, atau tamu-tamu yang sering mengaji dirumah beliau, maka aku merekam dengan baik kesan ku terhadap jilbab. Aku masih tidak mengerti tentang anggun, cantik, atau shalehah. Yang aku tau meraka berbeda dengan yang lain dan aku ingin seperti mereka.
Maka aku minta ibu untuk membelikan jilbab da kerudung persegi dan memakainya seperti para ustadzah. Namun ibuku tidak mengabulkan permintaanku dan justru membelikan krudung instan dan dengan bertopi kaku.
Ketika kelas 2 smp kami pindah rumah. Ternyata dilingkungan baru, kami kami bertetangga dengan beberapa kader jamaah dimana ibu-ibu tetangga tersebut mengenakan jilbab dan kerudung lebar. Salah satu dari ummahat itu kemudian mengadakan kajian rutin pekanan untuk remaja putri yang ada dilingkungan baru kami.
Berawal dari itu pengajian pekanan inilah aku mulai mengerti bahwa menutup aurat dan memakai jilbab itu adalah wajib dan bagi muslimah. Menurutku sepertinya memang lebih aman dan tidak risih. Aku juga berpikitr kalau memakai jilbab kulitku terlindung dari sinar matahari sehingga tidak akan menjadi hitam.
Maka aku mengutarakan keinginan ku kepada ibu untuk berjilbab. Entahlah, aku lupa persisnya dorongan kuat mana yang mendasari keinginanku itu. Apakah karena kesadaran sepenuhnya tentang kewajibab berjilbab atau karena alasan pelindung dari sinar matahari semata.
Ternyata ibu menolak keinginanku. Alasannya karena seragam sekolahku akan naggumg. Saat itu aku naik kelas 3 SMP dan akan sayang sekali jika harus membeli 3 stel seragam baru. Aku menyerah. Sebagai solusi aku mengenakan celana dan baju-baju panjang dan berkerudung.
Keinginanku mengenakan jilbabpun sempat hilang ketika aku merasa sangat ilfeel alias ilang feeling terhadap ummahat sebelah rumah. Beliau ummahat yang terkesan kalau bahasa jawa disebut kemproh, berpkaian nya tidak rapi, balapan dan terkesan lusuh.kesan keren yang pernah aku miliki terhadap wanita berjilbab lebar dan rapi menjadi hilang seketika.
Untung nya rasa ilfeel itu hanya sesaat saja. Ketika hendak masuk SMA, aku mengutarakan kembali keinginanku berjilbab kepada ibu dengan harapan ibu akan membelikan semua seragam baru SMA untuk muslimah. Tetapi ibu masih tidak setuju. Alasan itu kali adalah karena ibu takut aku hanya main-main saja dan akan pasang bongkar jilbabku. Barang kali ibu ragu karena aku tidak menerang keinginanku berjilbab dan hanya brekata “pokoknya aku ingin berjilbab”.
Akhirnya ibu hanya membelikan ku seragam olahraga untuk muslimah.
Entah dari mana dorongan ku untuk berjilbab semakain hari semakin kuat. Sebenarnya ibu sangat tidak setuju dengan hal ini, tetapi mau bagaimana lagi. Aku ingi menunjukkan kesungguhanku memakai jilbab dengan rapi, tidak dibikin model. Dan tidak bongkar pasang.
Akupun dibelikan seragam Muslimah, lengkap sudah seragam panjang ku.
Sejak saat itu aku berjilbab dengan baik. Sekalipun dari awal sedikit demi sedikit, tidak terasa sudah 10 tahun aku mengenakannya. Alhamdulillah.
Dikutip dari CAHAYA HIDAYA (Keluarga penulis EMBUN)
Penulis : Anggie Laksmi
By: Rapita Anisa
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar